Di bawah langit malam Siberia
Setiap perjalanan memberimu satu kesempatan
untuk mengubah cara pandangmu tentang dunia di luar sana.
Berjalanlah sejauh mungkin, jika memang kau mesti menembus
horizon-horizon mimpimu__
Akhir tahun 2017.
Saya tidak menduga bahwa saya mesti melakukan sebuah perjalanan jauh ke wilayah-wilayah Siberia, sebuah perjalanan yang menggairahkan. Beberapa teman dekat, ketika mendengar nama “Siberia” secara spontan melontarkan dua kata, “dingin” dan “beku”. Memang Siberia, tak sekadar dingin. Di puncak musim dingin, sungai-sungai dan danau-danaunya beku. Orang-orang Siberia dengan leluasa bisa bermain salju di permukaan sungai dan danau yang beku tersebut. Lalu tiba-tiba saya mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan ke Siberia, ke Chita di batas Mongolia – China – Rusia, tepatnya di hari-hari menjelang puncak musim dingin. Sesuatu yang aneh, tapi tidak boleh ditolak untuk dijalani dengan rasa syukur.
Setelah mendapatkan tiket pesawat S7, perusahaan penerbangan Rusia yang melayani rute-rute internasional dan domestik, saya segera berpikir panjang lebar tentang pakaian musim dingin terbaik yang mesti dibawa-serta. Sarung tangan terbaik, kaos kaki terbaik, winter-coat terbaik, syal terbaik hingga topi musim dingin terbaik. Semuanya serba “terbaik” yang bisa menyelamatkan saya dari rasa dingin yang tak tertahankan. Ada keraguan. Ada kecemasan. Apalagi ini merupakan pengalaman pertama – melakukan perjalanan ke Siberia pada musim dingin.
Pertengahan 2015, saat pertama kali melakukan perjalanan dari Tambov ke St. Petersburg, saya dihantam kecemasan serupa. Cuma alasan kecemasan itu adalah bahasa Rusiaku yang masih sangat miskin. Saya cemas, jangan-jangan saya tersesat dalam perjalanan tersebut. Dan jika saya tersesat, bagaimana saya meminta bantuan pada orang lain? Jika saya tidak dibantu oleh siapapun, bagaimana saya sanggup menolong diri sendiri di negeri asing ini?
Kali ini, ketika hendak melakukan perjalanan ke Siberia, saya justru kebingungan dengan masalah cuaca yang dinginnya sampai pada level “menakutkan”. Lagi-lagi saya cemas. Jangan-jangan saya jatuh sakit gara-gara kedinginan? Jangan-jangan saya segera merepotkan banyak orang karena menurut hasil test laboratorium di Moskwa paru-paru saya tidak normal? Bisa saja di Siberia nanti saya hanya bisa tinggal di dalam rumah karena alasan cuaca dan kesehatan. Di tengah kecemasan inilah saya teringat pesan Adrian, sahabat saya yang orang Flores dan sudah lama tinggal di wilayah-wilayah Siberia. Dia memberitahu saya, “Bung, jangan cemas. Asal siapkan jacket tebal yang bisa tahan dingin.”
Saya yakin, umumnya kecemasan itu positif. Kadang manusia cemas akan sesuatu yang tidak jelas sebabnya. Atau kalau ada sebab yang jelas, manusia cemas akan alasan-alasan yang kadang tidak riil. Itu makanya pernah seorang sahabat meyakinkan saya, “Kadang kita cemas. Tetapi apa yang kita cemaskan tidak terjadi. Justru terjadi sebaliknya. Semuanya baik-baik saja.”
Iya, semuanya (diharapkan) baik-baik saja. Saya teringat cerita tentang “Harapan”. Saat tidur malam, orang-orang di zaman ini cenderung menyetel alarm. Ada kecemasan. Jangan-jangan besok pagi nanti telat bangun pagi. Tapi saat tidur, kita tidak tahu pasti, apakah besok pagi nanti kita masih berkesempatan bangun pagi? Toh dengan yakin, penuh percaya diri kita tetap memilih menyetel alarm. Itulah HARAPAN. Semuanya ‘kan baik-baik saja, karena ada harapan.
Pagi, 18. 12. 2017.
Seusai membereskan semua bawaan, saya memanggil taksi. Tak lama berselang, cuma dua menit kemudian sebuah mobil Nissan berwana kuning dengan tulisan “Yandeks” (Rusia: Яндекс) di sisi, meluncur ke arah saya. Tak banyak bicara, bersama sopir taksi kami meluncur ke Domodedovo International Airport. Sopir segera menghidupkan pemanas dalam mobil, hal yang berbanding terbalik dengan situasi di Indonesia, bahwa di dalam mobil justru yang ada Air Conditioner. Dalam hati saya tahu, usaha melawan musim dingin sudah dimulai di bawah langit Moskwa yang muram.
Ketika memasuki kawasan Domodedovo, dengan teliti saya memeriksa lagi tiket yang sudah di-printout sehari sebelumnya. Ada kecemasan kecil. Jangan-jangan saya telah melakukan kesalahan kecil yang fatal. Bisa saja keberangkatan saya bukan dari Domodedovo International Airport. Untuk diketahui, hal ini pernah menimpa dua sahabat saya. Beberapa waktu lalu, seorang sahabat yang orang Togo hendak berangkat ke Ghana. Entahlah apa yang ada di benaknya, saat ditanya tentang bandara yang ditujunya, dia menjawab Domodedovo. Tetapi saat tiba di sana dan hendak melakukan check-in ia terkejut bukan main, lantaran yang tertera di tiketnya Vnukovo International Airport. Syukur bandara itu tak jauh dari Domodedovo dan bisa ditempuh dalam tempo empatpuluh lima menit. Ia diselamatkan oleh sopir taksi yang lincah dan tulus.
Lain lagi pengalaman seorang sahabat yang asal Slovakia. Dengan yakin ia meminta seorang sahabat mengantarnya ke Domodedovo. Sial benar. Saat tiba di sana, ia tahu bahwa ia mesti berangkat dari Sheremetyevo International Airport. Domodedovo terletak di wilayah selatan Moskwa, sedangkan Sheremetyevo terletak di wilayah utara kota yang tingkat kemacetannya cukup tinggi ini. Keduanya balik arah ke Sheremetyevo. Setibanya di Sheremetyevo, pesawat sudah berangkat. Sungguh sial. Hanya karena tidak teliti, ia kehilangan tiket. Syukur ia hanya melakukan perjalanan ke Madrid saat itu. Andaikan ia melakukan perjalanan jauh semisal ke Jakarta, atau ke Ghana, tentu ini merupakan sebuah kebodohan besar yang agak sulit dimaafkan.
***
Setelah terbang empat jam dari Moskwa, kami mendarat di Novosibirsk. Saat memasuki ruang transit, dingin terasa mengalir menembusi winter-coat yang cukup tebal. Di luar sana - suhu 24 derajat di bawah nol. Saya langsung berjalan menuju ruang tunggu, memesan segelas kopi, menempati kursi kosong di depan kafe dan menikmati udara Novosibirsk sambil menyerap “The Old Man and the Sea”, karya Ernest Hemingway yang memenangkan hadiah Pulitzer pada 1953.
Beberapa menit berselang, dua pemuda mendekat. Mereka kemudian bertanya tentang nama, asal dan ke mana tujuan saya. Dengan tenang saya melayani pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka agak heran karena saya bicara dengan baik dalam Bahasa Rusia. Mengetahui asal saya dari Indonesia, mereka langsung menyangka bahwa saya seorang muslim. Dalam hati saya berkata, “Ahhhhh agama selalu jadi bahan perbincangan, sesuatu yang menimbulkan prasangka.” Padahal di Rusia saya bertemu banyak orang baik yang tidak percaya adanya Tuhan, tapi hidup dalam damai dengan istri atau suami mereka yang religius.
Dua pemuda tadi berasal dari Tajikistan. Mereka sedang dalam perjalanan ke Moskwa, hendak mencari nafkah di sana. Mereka pun heran, saya sedang dalam perjalanan ke Chita, ke wilayah Siberia yang dingin di hari-hari menjelang puncak musim dingin.
Kedua pemuda tadi berlalu, sambil menikmati kopi, saya diserang berbagai tanya tentang agama dan orang-orang beragama. Tentang agama yang akhir-akhir ini membuat orang selalu merasa curiga satu akan yang lain. Tentang agama yang saat ini membuat orang bisa terasing dari sesamanya. Tentang agama yang bisa membuat orang dengan mudah dan berani menumpahkan darah. Tentang agama yang begitu saja dijadikan alasan untuk mengusir orang-orang yang hidupnya barangkali jauh lebih baik dari mereka yang menyebut diri beragama. Apa sebenarnya agama? Apakah agama yang salah ataukah manusia?
Di dalam pesawat saat terbang dari Novosibirsk ke Chita, saya adalah satu-satunya kulit hitam di antara orang-orang Rusia. Tapi jelas, di dalam pesawat kami cuma satu realitas yakni penumpang. Tak ada agama. Di bawah langit malam Siberia, saya ingat Gus Dur dan spiritualitasnya. “Guru spiritual saya adalah realitas. Dan guru realitas saya adalah spiritualitas.”***
Comments
Post a Comment