Jalan Hidup Seorang Musisi
Kehidupan memang memiliki takdir tersendiri untuk setiap kita…
Di luar sana udara terasa sejuk. Ibu-ibu sedang menyaksikan anak-anak
bermain di taman. Mungkin mereka sedang membayangkan masa depan bocah-bocah itu, ataukah mungkin mereka sekadar menghabiskan waktu senggang di taman tanpa sedikit pun memikirkan rupa masa depan anak-anak mereka. Saya menghela napas, merenungi arti ketekunan dan jalan hidup seorang musisi.__
A free music concert in Piaseczno - Poland |
Awal Juli 2017.
Di Moskwa, di rumah kami yang terletak di kawasan Lyublino, kerap saya melewati
hari-hari sunyiku di perpustakaan kecil yang baru saja diselesaikan awal tahun
2017. Kadang saya bingung sendiri di hadapan buku-buku tebal berbahasa
Polandia, Inggris, juga Spanyol dan sebagian besar bahasa Rusia. Buku-buku yang
banyak mendapat perhatian adalah buku-buku berbahasa Inggris dan Rusia, dua
bahasa yang saya pahami.
Di perpustakaan yang
terletak di salah satu sudut lantai tiga inilah sering saya baca ulang
artikel-artikel yang sudah ditulis sejak di Tambov. Lewat kaca jendela yang
menempel pada atap rumah, terkadang saya renungi langit musim panas yang cerah,
tanpa awan sedikitpun. Sering pula melalui jendela yang sama kulirik
tetangga-tetangga dengan segelas kopi di tangan sembari menikmati rokok di
balkon-balkon mereka di ketinggian apartemen.
Saya membaca ulang
beberapa surat elektronik dari Jakarta, surat-surat Ary Sutedja. Kepadanya saya
menyampaikan beberapa pertanyaan perihal musik dan suka-dukanya di jalan
panjang menekuni musik, sebuah dunia tanpa batas.
“Dear Milto yang suka
musik, saya akan coba jawab pertanyaan anda. Pertanyaan anda ini tidak bisa
dijawab secara singkat, karena perjalanan musik saya lumayan kompleks. Oleh karena itu saya akan menjawab pertanyaan anda
tidak sekaligus, tapi part by part.”
Membaca surat-surat
elekroniknya di Moskwa, serasa Ary Sutedja sedang ngobrol santai denganku, seperti halnya pada Oktober 2014 lalu di
kediamannya di Pamulang. Padahal ia saat ini sedang sibuk di berbagai tempat,
berbagi hari-hari hidupnya di tanah air dan Yunani (negeri asal suaminya) atau
juga di negara-negara lain.
Dalam salah satu suratku untuk Ary
Sutedja, saya bertanya tentang awal mula ia menekuni dunia musik. Kuingat baik,
pertanyaan sederhana ini pun pernah kulontarkan kepada beberapa musisi yang
sering mampir di gereja kami di Tambov. Saya lalu paham, dari pertanyaan
sederhana dan terkesan tak penting inilah kemudian muncul kisah-kisah yang luar
biasa tentang jalan hidup seorang musisi, bahkan hal-hal personal yang tak
terbayangkan bisa menimpa mereka.
“Kapan ibu mulai menekuni dunia musik?”
“Usia saya sekitar tujuh tahun, saat saya mulai belajar bermain piano, dan itu merupakan bagian dari aktivitas mingguan saya. Ibu saya sangat mencintai musik. Ia ingin musik menjadi bagian dari hidup kami. Ibu saya bercerita, saat saya masih di kandungannya, ia ingin memiliki sebuah piano dan saat saya lahir ibu sudah memiliki sebuah piano di dalam rumah. Kami empat bersaudara, dan kami semua diberi kesempatan untuk mengikuti les musik (piano dan biola), tapi hanya saya yang terus bermain piano. Di kemudian hari saudara-saudaraku menyerah.”
Ary pun bercerita
tentang mimpi ibunya, seorang ibu yang memelihara mimpi sederhana, bernyanyi di
samping putrinya yang piawai bermain piano. Ini tentu bukan mimpi kosong, sebab
ibunya gemar bermain biola, sedikit piano dan bernyanyi sangat baik saat ia
seorang gadis dulu.
“Saat mulai belajar piano, saya sadar, saya tidak bisa katakan saya mencintai piano saat itu. Sungguh bermain piano cuma bagian dari aktivitas mingguan saya sebagai seorang anak. Di samping bermusik, aktivitas mingguan saya yang lain adalah mengikuti pelajaran dance, karate dan olahraga lain. Hingga saat ini saya sangat bersyukur. Tentu bersyukur karena saya memiliki orangtua yang luar biasa, mereka membuka kemungkinan-kemungkinan terbaik bagi anak-anaknya untuk melakukan banyak hal. Permulaan kisah di balik musikalitas dalam diri saya adalah ketika keluarga kami beralih ke Jerman pada tahun 1979.”
Di Jerman, Ary Sutedja
memulai petualangannya di dunia musik bukan dengan pengalaman yang
menyenangkan. Ia malah di hadapkan pada kenyataan yang menantang. Realitas yang
tak mudah bagi seorang anak berkulit Asia di hadapan kaum kulit putih Eropa
saat itu.
“Saya mengalami
‘tantangan’ yang luar biasa ketika tiap hari saya mesti berangkat ke sebuah
sekolah Jerman saat itu. Sebagai seorang anak, sepanjang masa-masa awal ini
saya mengalami dengan sabar satu dari hal-hal tersulit dalam hidupku. Saya
dihadapkan pada prasangka dan pengalaman ‘termarjinalisasi’ di tengah komunitas
‘Kulit Putih’.”
Padahal pada periode inilah Ary Sutedja
mesti secara intensif mengembangkan kehidupannya dalam bermusik. Di tahun kedua di Jerman, ia terpilih sebagai pianis
untuk produksi Opera Anak-anak di Bremen
Opera House. Konduktornya adalah Kapellmeister Bauernschenck. Bauernschenck
ini di kemudian hari dikenangnya sebagai salah satu guru piano tak terlupakan,
guru yang sudah sekian banyak mengalirkan dukungan baginya terutama untuk
berpartisipasi dalam dua Opera Anak-anak, karya komposer Inggris - Peter
Maxwell Davies.
“Sungguh sayang,
Maxwell Davies telah meninggal 14 Maret 2016 lalu. Semoga terang abadi
menyinarinya. Karyanya yang melibatkan partisipasi saya adalah The Cinderella dan The Rainbow.”
Bagi Ary Sutedja, ini
merupakan kesempatan tak biasa baginya di mana ia mendapat kesempatan keliling
Jerman bersama perusahaan Opera Anak-anak. Lalu tiba-tiba saja ia menjadi
terkenal dan dihormati oleh teman-teman kelas karena berita di media mengenai
keterlibatannya. Ada publikasi wawancara di koran dan juga talkshow di radio, dan lain-lain.
Kisah hidupnya sewaktu
di Jerman sungguh tak terkatakan. Itulah Jerman, saat ia berusia empat belas
tahun dan mulai menghasilkan uang saku dari keringat sendiri.
“Saya memberi les piano
untuk anak-anak Indonesia di Jerman. Setiap minggu saya mengayuh sepeda menuju
enam tempat berbeda dan mengajari anak-anak bermain piano. Dari pengalaman ini,
saya akhirnya membeli cincin emasku yang pertama dengan uang yang dibayarkan
kepada saya. Selain itu, saya juga mulai menulis lagu untuk pertama kalinya dan
membuat komposisi musik untuk puisi yang ditulis seorang teman.”
Seperti saat tinggal di
Indonesia, Ary kecil mesti bermain piano ketika orangtuanya menggelar dinner party, atau saat orangtuanya
diundang oleh para diplomat ke cocktail
party. Sejak itu, baginya piano terasa “sungguh sesuatu yang amat berarti”
dalam hidupnya. Bersama orangtua, Ary kemudian kembali ke Jakarta
setelah tinggal di Jerman sekitar empat tahun.
“Saya kembali ke sekolah musik yang lama, belajar bermain piano bersama satu dari kedua guru musik yang paling utama dalam hidup saya (dalam seluruh perjalanan hidup sebagai seorang musisi, Ary memiliki empatbelas guru musik). Dialah Irawati M. Sudiarso, seorang pianis yang luar biasa dan juga seorang pedagog yang hebat dan ramah. Ia amat berpengaruh dalam hidup saya hingga akhirnya saya mengambil keputusan untuk meninggalkan studi ekonomi di Universitas dan berangkat ke United States untuk belajar musik.”
Mendengar kisah Ary
Sutedja dan keputusannya banting stir
dari studi ekonomi ke dunia musik, terkadang saya bertanya pada diri sendiri,
“Adakah itu keputusan bebas dari dalam diri ataukah orangtua yang memaksakan
sesuatu yang ideal kepadanya?” Tampaknya tidak. Dalam kisah-kisahnya tampak
jelas, ini adalah keputusan bebas, pilihan untuk menentukan masa depan sendiri.
Petikan dari salah satu suratnya dengan tegas menggarisbawahi hal ini.
“Sekali lagi, orangtua
saya memainkan peran vital dengan memberi saya kebebasan untuk memilih apa yang hendak saya lakukan. Kehidupan di United States bukanlah hal yang mudah di
tahun pertama, karena setelah beberapa bulan belajar di Peabody Conservatory, kedua tangan saya amat sakit akibat ‘carpel
tunnel syndrome’; ini juga merupakan akibat terlalu banyak berpraktik
menggunakan wrong muscles yang
kemudian membuat saya tidak bisa menggunakan kedua tangan secara normal untuk
melakukan sesuatu selama sepuluh bulan.
Dengan pengalaman ini
saya mesti minum pain-killer berdosis
tinggi setiap hari (3.200 mg of motrin),
lebih dari itu saya terbangun tiap malam karena rasa sakit yang luar biasa pada
kedua tangan.”
Penderitaan dan rasa
sakit di sini di satu sisi dapat dipandang sebagai salah satu titik perjuangan,
sebuah ketekunan dengan proses tak mudah menuju apa yang kita sebut sebagai
kesuksesan. Untuk menggapai suatu kepuasan tertentu, kita tidak bisa
bermain-main dengan apa yang sedang ditekuni. Di sisi lain, penderitaan dan
rasa sakit di sini boleh saja dilihat sebagai titik singgah, sebuah jedah yang
“memberi peringatan” bahwa mimpi dan segala niat baik yang ingin digapai,
digapai dalam proses yang tetap memberi ruang bagi “keheningan”. Rasa sakit
yang terdalam adalah saat kamu sakit dan tak ada orang yang peduli pada kamu.
Tapi bukan itu yang dialami Ary Sutedja.
Untuk Ary Sutedja
sendiri pengalaman sakit itu sesuatu yang tetap hangat dalam ingatan dan
dikenangnya dalam relasinya dengan sosok ayah.
“Karena penderitaan dan
rasa sakit itu untuk pertama kalinya ayah saya menunjukkan keprihatinannya dan
meminta saya menghentikan pendidikan di tingkat internasional itu. Tapi
kehidupan memiliki takdir tersendiri untuk saya.”
Kehidupan
memang memiliki takdir tersendiri untuk setiap kita. Sampai di sini, saya cuma
sebuah diam, coba memahami hidup di Moskwa dan segala realitasnya. Di luar sana
udara terasa sejuk. Ibu-ibu sedang menyaksikan anak-anak bermain di taman. Mungkin
mereka sedang membayangkan masa depan bocah-bocah itu, ataukah mungkin mereka
sekadar menghabiskan waktu senggang di taman tanpa sedikit pun memikirkan rupa
masa depan anak-anak mereka. Saya menghela napas, merenungi arti ketekunan dan
jalan hidup seorang musisi.***
Comments
Post a Comment