Maria Dari Piaseczno
Kamu
mungkin pernah berada di sebuah kota, kampung
atau tempat
yang tak ‘kan terlupakan. Kamu lalu kembali
menekuni rutinitasmu
sehari-hari dan sejenak berpikir
tentang
tempat yang tak terlupakan itu. Saat mengenang kota atau
kampung itu, sesungguhnya kamu telah menemukan jalan
pulang ke tempat tersebut.__
Dini hari, 06.09.2016.
Di Abu Dhabi International Airport - Terminal 3, setelah berpisah dengan
Erik Saether (South Africa), saya menunggu jam terbang ke Jakarta. Di ruang
tunggu, sejumlah peziarah dari tanah air berbincang-bincang tentang hal-hal
yang telah mereka lihat dan lalui di Eropa. Ekspresi gembira begitu kental di
wajah mereka. Beberapa jam berselang, bersama mereka dan sekian banyak
penumpang lain kami meninggalkan Abu Dhabi, terbang menuju Jakarta. Di dalam
pesawat saya duduk di samping seorang penumpang yang kemudian memperkenalkan
diri sebagai seorang padre dari Ambon yang juga merupakan salah satu dari para
peziarah itu.
Si padre orang Ambon telah keliling Eropa, melihat tempat-tempat kudus,
pulang ke tanah air dengan rasa bahagia yang meluap-luap. Dia tak sanggup
merahasiakan kebanggaan ini, pernah keliling Eropa dalam tempo dua minggu.
Kebahagiaan memang seperti mentari pagi, membuat dunia melihat sukacita. Dan
burung-burung gereja tak bisa diam lebih lama lagi. Kicauan mereka segera pecah
menyambut rekah mentari.
Si padre orang Ambon sungguh telah melihat mentari kebahagiaan. Dia tak
bisa menyimpan semuanya dalam hati. Dia terus bercerita dengan rasa bangga yang
tak tersembunyikan. “Adik, siapa seperti saya? Keliling Eropa dalam tempo dua minggu.
Melihat tempat-tempat kudus. Hidup ini singkat, gunakan waktumu untuk melihat
lebih banyak lagi.”
Saat mendengarkan kisah si Padre yang keliling Eropa, saya teringat
Piaseczno, kota kecil berjarak enambelas kilometer dari Warsawa ke arah selatan.
Saya pun paham, di dunia ini sering kebahagiaan lebih singkat dari kerinduan. Tetapi
kebahagiaan selalu lebih dalam daripada rindu. Sebab kita rindu akan sesuatu
yang membuat kita bahagia. Bukan sebaliknya kita bahagia karena sesuatu yang
bikin kita rindu.
Seminggu di Piaseczno, serasa kata begitu miskin menjelaskan semuanya. Di
World Youth Day (WYD) 2016, saya
malah tak percaya bahwa hari-hari itu saya berada di tengah jutaan kaum muda
dari seluruh dunia, dari segala suku dan bangsa dan bahasa. Barangkali ini yang
namanya merasa “terberkati”. Saya yakin, setiap orang pernah merasa terberkati,
entah dalam cara yang sederhana sekalipun. Saat seseorang terberkati, di situ
tak ada lagi yang diinginkannya. Seakan-akan segalanya telah terpenuhi. Bahasa
yang paling tepat untuk situasi ini mungkin nyanyian pemazmur, “…lebih baik
satu hari di pelataran-Mu daripada seribu hari di tempat lain; lebih baik
berdiri di ambang pintu rumah Allahku daripada diam di kemah-kemah orang
fasik.”
Di Polandia, senyum dan keramahan begitu kental. Di sana, di WYD
segalanya tersedia. WYD serupa Kanaan yang mengalirkan susu dan madu. Begitu
terberkati dan kami bagai Petrus, Yohanes dan Yakobus yang memohon kepada Sang
Guru agar tetap tinggal di puncak Tabor lantaran mereka telah melihat
kebahagiaan sejati.
* * *
Pertemuan
orang muda sedunia sejatinya digagas oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada perayaan
Minggu Palma 1984, lebih dari tigaratus ribu kaum muda dari seluruh dunia hadir
di Basilika St. Petrus untuk memenuhi undangan Sri Paus. Memandang sekian
banyak orang muda yang telah memenuhi undangannya, Yohanes Paulus II berujar, “What a fantastic spectacle is
presented on this stage by your gathering here today! Who claimed that today’s
youth has lost their sense of values? Is it really true that they cannot be
counted on?” Setelah pertemuan itu, setahun kemudian WYD secara resmi ditetapkan pada 20 Desember 1985. Tahun
berikutnya (1986), untuk pertama kali secara resmi WYD diselenggarakan di Roma.
Sejak itu WYD
telah diselenggarakan di berbagai negara dengan tema yang berbeda.
Negara-negara yang telah menjadi tuan rumah WYD adalah Italia, Argentina,
Spanyol (Santiago de Compostela), Polandia, USA (Denver), Filipina, Prancis,
Kanada, Jerman, Australia, Brasil dan Panama untuk 2019 nanti.
Event tiga tahunan ini benar-benar energi dan magnet yang menghimpun-satukan
orang muda Katolik dari berbagai belahan planet ini. Di dalam grup kami sendiri
terdapat sejumlah mahasiswa dengan latar kultur dan negara berbeda. Erji dari
Kongo, Jacquess, Rodrique, Sergine dan Paschal dari Kamerun, John dari Uganda,
dan sebagian bersar dari Moskwa dan Volgograd (Rusia), Robert dari Slovakia dan
saya sendiri dari Indonesia.
Seminggu di
Piaseczno pun berlalu. Bersama teman-teman kami segera beralih ke Krakow.
Sewaktu mengunjungi beberapa situs bersejarah di Warsawa, Robert
(penanggungjawab grup kami) menyempatkan diri membeli tiket kereta dari Warsawa
ke Krakow untuk kami masing-masing. Jarak 350-an Km segera kami tempuh dalam
tempo empat jam.
Hari itu
sahabat-sahabat dari Piaseczno melepas kami dengan harap yang hampir lengkap,
semoga kelak kami berjumpa lagi. Di dalam kereta, penumpang berdesak-desakan.
Menariknya semua tampak ramah dan akrab. Terdengar percakapan dalam bahasa
Jerman, Inggris, Prancis, dan tentu dalam Bahasa Rusia. Saya sudah menempati seat sesuai tiket dan Yulia dari Moskwa
duduk di samping saya.
Setiap
mengadakan perjalanan dengan kereta dan saat melewati padang tanpa perumahan,
saya selalu ingat Timor yang gersang, namun memiliki keindahannya tersendiri.
Tak heran beberapa film papan atas semisal “Tanah Air Beta”, “Atambua 39
derajat celsius” atau juga film “Balibo” sempat menunjukan kepada publik bahwa
Timor memiliki eksotisme tersendiri. Di situ rasanya kampung adalah dunia pertama
yang mengajariku tentang seni dan keindahan, tentang alam dan kebebasan. Alam
adalah lukisan hidup dari tangan Dia yang tak kelihatan.
Kereta sudah jauh
meninggalkan Warsawa dan segala modernitasnya. Mengingat Warsawa, dalam
pikiranku selalu terbayang kota, sejarah, budaya dan modernitas yang tampak
seimbang. Itu kesan saya sebagai orang yang baru pertama kali mengunjungi
Warsawa. Kereta terus melaju. Seperti teman-teman yang lain, saya keluarkan
bekal dari tas; sandwich dan air yang
sudah disiapkan Eliza sejak jam empat pagi tadi untuk perjalanan ke Krakow.
Siapakah
Eliza? Dia dan segenap keluarganya adalah sahabat yang Tuhan janjikan untukku
dan Erji. Tak pernah terbayangkan, juga tak terduga sebelumnya bahwa di dunia
ini, kamu atau saya akan berjumpa dengan orang-orang yang memperlakukanmu
seperti sahabat lama. Eliza adalah seorang akuntan senior, bekerja di kantornya
di Piaseczno, tapi tinggal bersama suami dan kedua putrinya di Zalesie Dolne
(tujuh kilometer dari Piaseczno).
Di sana, di
kawasan tak padat penduduk itu, mereka memberi tumpangan untuk Erji dan saya. Mereka
tinggal di lantai tiga. Di lantai dua terdapat ruang televisi, ruang tamu, kamar
makan dan dapur. Di situlah sejak hari pertama di Polandia, khususnya di
Piaseczno, kami berkenalan, bercerita, tertawa, dan bernyanyi bersama. Di situ
juga, Anita, Ola dan Victoria serta Eva mempraktikkan Bahasa Inggris dengan
ekspresi malu-malu. Lalu di lantai dasar, sebuah kamar khusus telah disiapkan untuk
kami huni selama seminggu. Di lantai dasar ini terdapat dua tempat tidur, kamar
mandi, ruang baca, satu set televisi dan perlengkapan mandi. Selama seminggu di
sana, semuanya selalu tampak rapi.
Suatu malam
di lantai dua, saat makan malam. Aleksander (suami Eliza) ingin tahu lebih
lanjut perihal Indonesia. Di kepalanya, Indonesia adalah negara kepulauan yang
terletak di antara Filipina dan Australia. Selebihnya, berdasarkan cerita
teman-temannya, dia cuma tahu bahwa Indonesia itu archipelagic state dengan penduduk kira-kira empatpuluh juta jiwa.
Mendengar itu saya tersenyum. Tak ingin segera membantah.
Aleksander sehari-hari bekerja sebagai salah satu pimpinan Renault di
Warsawa. Setiap hari dia menerima tamu dari berbagai negara semisal Jerman,
Prancis, Belgia, dan negara-negara lain. Dia berupaya mengungkapkan
pemahamannya tentang Indonesia dalam Bahasa Rusia yang terbata-bata, setelah
sekian lama tak berbicara dalam bahasa resmi di zaman Soviet itu.
Setelah dia
selesai bicara, saya meluruskan informasi yang keliru tentang Indonesia. Dia
tidak percaya. Terkejut. Tapi saya menegaskan lagi.
“Indonesia
adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.000-an pulau. Jumlah penduduknya
250-an juta jiwa.”
Dia terkejut
bukan main. Dia pun menggerakkan kedua bahu, mengernyitkan dahi, lalu diam
sejenak. Saya pun ikut diam, begitu halnya seisi rumah. Dia kemudian
mengangguk-angguk dan sekarang dia tahu pasti tentang Indonesia.
“Nahhh
sekarang saya sudah tahu. Iya sekarang hanya saya yang tahu. Di kantor,
teman-teman pasti tidak tahu. Saya akan jelaskan kepada mereka tentang
Indonesia dan tentu mereka akan terkejut seperti saya,” katanya sambil tertawa
ringan dan kembali menikmati sup serta roti di depannya.
Ehhhh dalam
hati saya juga tidak yakin dengan informasi ini. “Jangan-jangan saya
menyebarkan informasi yang keliru tentang negeri sendiri…” Saya berpikir lagi dan coba memastikan bahwa saya tidak
sedang melakukan kekeliruan besar tentang tanah air. Jika itu terjadi, sungguh
tak pantas menyebut diri sebagai orang Indonesia. Atau sekurang-kurangnya ada
kepastian tentang Indonesia sebelum Aleksander lebih jauh menyebarkan informasi
lisan ini.
Aleksander
berbalik kepada Erji, bertanya banyak tentang Kongo. Tentang alam dan ekonomi,
tentang budaya dan bahasa, tentang makanan dan kebiasaan orang-orang di sana,
tentang saudara-saudara Erji di Kongo dan studinya di Tambov.
“Ada harimau, macan, dan tentu
saja kuda nil, gajah, dan masih banyak lagi. Soal bahasa, ada Bahasa Lingala
dan Prancis adalah bahasa resmi negara kami. Soal makanan, yahhh makanan khas
di sana adalah Fufu,” cerita Erji
dengan ekspresi bangga. Fufu adalah makanan khas orang
Afrika yang terbuat dari singkong, namun juga bisa dibuat dari tepung jagung,
gandum dan pisang. Kami menyimak cerita-cerita selanjutnya sambil
menyelesaikan makan malam.
Aleksander mengambil
tisu, dengan gerakan cepat membersihkan mulut dan segera menyambung kisah Erji.
“Saya tahu beberapa kata bahasa Prancis. Misalnya, Merci, merci beaukoup, bon jour, bon appetit.” Kami semua begitu
saja memuji Aleksander sambil tertawa ringan karena lafalnya yang khas Polandia.
Tapi pujian tulus tiba-tiba beralih ke Eliza yang menyiapkan makan malam nan
lezat. Eliza tersenyum dengan air muka sedikit bangga.
***
Kira-kira dua
jam berselang, kereta kian jauh dari Warsawa. Tadinya sejumlah penumpang begitu
antusias bercerita di depan saya. Kini mereka diam di tempat duduk
masing-masing. Ada yang berusaha nyenyak dalam perjalanan ke Krakow. Ada yang
membaca buku sambil sesekali memandang ke luar lewat jendela kereta.
Ahhh saya sadar.
Pikiranku sedang terbagi antara Piaseczno dan Krakow. Gadis itu bernama Maria.
Selama hari-hari di Piaseczno dia begitu setia menemani saya saat kami
mengunjungi berbagai situs sejarah di sekitar Warsawa. Juga saat kami bermain
futsal bersama sejumlah peserta WYD dari negara-negara Amerika Latin dan Afrika,
gadis itu selalu dekat. Pernah sekali, saya dan Erji ketinggalan bus yang mengangkut
kami ke stadion mini. Maria diam-diam telah mengetahuinya. Dia segera menelpon
ayah dan tiba-tiba ayahnya muncul dengan mobil pribadi. Kami pun diantar ke
stadion itu, tempat kami hari itu menjadi “bulan-bulanan” sekelompok gadis
pemain futsal profesional.
“Ahhhh
laki-laki macam apa kamu? Kok bisa dikalahkan oleh gadis-gadis di lapangan futsal?”,
komentar seorang sahabat yang menyaksikan kekalahan kami dengan senyum sinis.
Di dalam
kereta saya tahu, Maria tidak mengambil bagian dalam rangkaian kegiatan di
Krakow. Cuma di backpack saya ada
sepotong surat yang dia tulis malam itu, malam sebelum kami meninggalkan
Piaseczno. Saat itu Maria berpesan, “Kamu bisa membaca, mengenang dan
memahaminya dalam perjalanan ke Krakow.” Saya ingat hari itu, saat dia
menyerahkan surat tersebut dengan senyum yang merekah.
Dari dalam
kereta, saya lihat di luar sana hujan terus mengguyur rerumputan. Semua di luar
sana tampak basah. Saya keluarkan jacket dan melindungi tubuh dari rasa dingin.
Di sebelah saya Yulia menyimak berita online
dari ipad di tangannya. Saya keluarkan surat dari Maria, sepotong surat
tulisan tangan dan membacanya untuk kesekian kali.
Dear
friend…
Terima kasih…suatu
saat nanti, saat kamu datang ke Polandia, pintu rumahku selalu terbuka untukmu.
Terima kasih untuk semua kehangatan, untuk semua pengalaman yang sudah kita
alami bersama. Waktu yang singkat tapi sangat menyenangkan. Datanglah ke
Polandia. Saya menunggumu.
God Bless!
Maria
Surat yang singkat. Surat yang bikin saya ingin kembali ke Piaseczno. Bersama surat itu, Maria melampirkan ringkasan sejarah semua tempat yang telah kami datangi, semisal Cathedral of St. Michael the Archangel dan Cathedral of St. Florian the Martyr. Selain itu English Landscape Garden dengan format Romantic Garden. Ada pula informasi singkat tentang The Palace on the Isle, The White Pavilion dan kawasan mewah yang dikenal dengan nama “Villanov”. The Palace on the Isle (Polandia: “Łazienki Królewskie”) merupakan paviliun taman Barok yang dirancang oleh arsitek Belanda, Tylman van Gameren. Taman ini sejatinya dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat, bersantai dan berkontemplasi.

“Saya sangat
bahagia di antara orang-orang muda dari seluruh dunia. Sudah dua kali saya
berada di antara kaum muda sebanyak ini. Pengalaman pertama – saat WYD 2013
digelar di Rio de Janeiro – Brasil.”
***
Surat Maria
masih di tangan saya. Kami sudah tiba di Krakow. Gerimis basahi jalanan kota.
Ada Maria yang lain, gadis berumur duapuluhan tahun. Dia menjemput dan segera
mengantar kami ke sebuah gereja. Di halaman gereja itu telah tiba ratusan
peserta WYD dari Turkmenistan, Rusia, Prancis, Spanyol dan Portugal. Memandang
Maria yang lain di Krakow yang basah, serasa saya sedang di Piaseczno yang
telah jauh.__
Comments
Post a Comment