Terkenang Krakow dari Timor yang Sunyi
Blessed are the merciful
Blessed are the merciful
For it is mercy that
shall be shown
to those who show mercy__
Februari, 2017.
Di
kampung, hampir setiap malam saya menghabiskan tak sedikit waktu untuk menulis.
Karena malam di kampung sungguh sunyi, mood
untuk menulis datang begitu saja dan rasanya saya mesti menulis. Begitu halnya oma (panggilan untuk nenek) yang suka
menganyam tempat sirih. Baginya malam adalah jam dinas terbaik. Dulu saat saya masih
belajar di sekolah dasar, oma begitu
giat siang dan malam menganyam bakul, nyiru dan tempat sirih untuk kemudian
dijual atau dibarter. Duapuluh-an tahun kemudian, hari ini oma masih setia menganyam di usianya yang memasuki angka
sembilanpuluh.
Oma tidak
pernah mengenyam pendidikan formal. Dia tidak pernah belajar bahasa Indonesia,
meski dia paham sedikit bahasa Indonesia. Malam itu, sambil menekuni
aktivitasnya dalam hal menganyam, oma
tiba-tiba bertanya.
“Ehhh
kenapa kau menulis? Tiap-tiap hari menulis dan menulis terus di kertas putih.
Tidak habis-habis. Kau tinggal di Rusia. Sudah di kampung, kau harus cerita
tentang Rusia, tentang orang-orang di sana. Tentang ibu-ibu di sana. Apakah
mereka juga makan sirih-pinang
seperti orang Timor?”
Biasanya
saya bercerita tentang Rusia di tengah sanak-kerabatku di rumah. Mereka datang
dan kami minum kopi, lalu kami mulai membincangkan sesuatu yang tak biasa.
Misalnya seorang ibu lansia di Tambov (Rusia) yang meninggal di samping
kucingnya di apartemen pribadinya. Ibu itu berpulang ke dunia akhirat tanpa
disaksikan anak-anaknya yang tinggal di negara-negara lain. Beberapa hari
setelah kematiannya, diketahui bahwa ibu itu memiliki beberapa ribu USD di bank
atas nama kucingnya.
Malam
itu lagi-lagi oma ingin menikmati
cerita tentang Rusia. Dia ingin tahu.
“Kau
menulis terus. Saya tidak akan tidur sebelum kau tidur. Ibumu sudah tidur,”
katanya sambil mengunyah sirih dan tangannya terus giat menganyam. Dia bertanya
lagi.
“Benar
tidak, kau cerita tentang kucing. Hmmmm kok bisa begitu? Mana ada kucing yang
punya simpanan uang di bank? Kucing macam apa itu?”
“Iya
oma. Kucing itu punya uang. Saya juga
heran. Mana mungkin ada kucing seperti itu di dunia ini.”
“Lalu
ibu itu meninggal, uangnya dipakai siapa?”
“Anak-anaknya.
Mereka datang saat mendengar kabar ibunya meninggal. Lalu mereka ambil uang
itu.”
“Kasihan
kucingnya. ‘Kan itu uangnya si kucing.”
“Iya
oma, kasihan ya. Tapi itulah Rusia,
anjing pun memiliki dokumen. Maka teman saya bilang, lu kalau kasi ilang passport, harga dirimu di bawah anjing.”
“Jaga
passportmu baik-baik nak. Jangan sampai itu terjadi. Kami tidak mau dengar
tentang itu. Tapi kau menulis terus, kapan habis? Tiap hari kau tulis.”
Oma sedikit
kecewa. Dia mau dengar cerita tentang Rusia. Tentang apakah orang Rusia juga makan sirih seperti orang Timor.
“Oma, ingatan saya lemah, lemah sekali.
Itu satu-satunya alasan saya menulis. Sungguh benar ingatan saya lemah. Saya
tidak seperti teman-teman yang masih ingat semua yang kami pelajari di kelas.”
“Hmmm
kalau begitu teruskan. Tapi malam ini saya tidak akan tidur sebelum kau selesai
menulis,” katanya sambil menatap mata saya.
Dia
tersenyum lebar. Di wajahnya terlihat jelas lengkung-lengkung keriput yang tak
beraturan. Oma seperti itu. Dia
begitu setia menemani saya. Kadang meski sudah berbaring di tempat tidur, dia
tak ingin nyenyak. Dia terus berjaga, mungkin saya butuh air minum, dia segera
mengambilkannya. Padahal dia berlangkah begitu pelan, sudah tak tegak lagi.
“Oma, sedikit lagi ya…dan kita tidur.”
Oma
mengiyakan. Dia mengeluarkan lagi sirih, pinang dan kapur. Dia terlihat begitu
menikmati sirih terakhir di hari itu sebelum beranjak ke tempat tidur.
***
Malam itu kami masuk kamar masing-masing dan tidur. Sebelum nyenyak saya menikmati himne World Youth Day (WYD) 2016, “Blessed are the merciful.” Refrainnya demikian, empat kali mengulang kata mercy (-ful).
Malam itu kami masuk kamar masing-masing dan tidur. Sebelum nyenyak saya menikmati himne World Youth Day (WYD) 2016, “Blessed are the merciful.” Refrainnya demikian, empat kali mengulang kata mercy (-ful).
Blessed are the merciful
Blessed are the merciful
For it is mercy that shall be shown
to those who show mercy
Krakow,
sepanjang minggu terakhir di bulan Juli 2016.
Para peziarah yang datang ke WYD memandang saya dan Erji begitu
heran. Mereka tak percaya melihat bendera Rusia berkibar di tangan Erji, si
kribo berkulit hitam pekat asal Kongo. Belum lagi Erji berseru-seru dalam
Bahasa Rusia sambil mengayun-ayunkan bendera putih-biru-merah di tangan. Jika
di belahan dunia lain, ada warga Amerika Serikat, Prancis atau Belgia berkulit
hitam hal ini sudah tak asing lagi.
Anehnya seorang berkulit hitam
mengatakan dia datang ke Polandia dari Rusia, hal ini membuat orang-orang di WYD memandangnya setengah percaya. Itu
yang saya dan Erji alami di WYD.
“Mercy” atau Belas Kasih telah membawa kami tiba di Polandia di antara jutaan
orang muda dari seluruh dunia.
Di jantung kota Krakow, malam itu
saya dan Erji sudah terpisah dari teman-teman, setelah mendapat giliran berdoa
bersama semua peziarah dari Rusia di Basilika Sta. Maria. Kami berdiri di depan
sebuah kafe di dekat Square utama
yang membentang di depan gereja. Peziarah dari berbagai negara tumpah ruah di Square itu berjalan bergerombolan dengan
bendera negara masing-masing. Kadang mereka berhenti, bercerita dan gelak tawa
mewarnai sudut-sudut Square malam
itu.
Di situlah kami menunggu Marek yang
segera menjemput kami kembali ke rumah flatnya. Dua orang muda yang kemudian
memperkenalkan diri sebagai mahasiswa asal Ukraina mendekati kami dengan
ekspresi heran. Keduanya sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas
di Krakow. Mereka pun mulai bertanya dengan kuriotas yang menggebu-gebu.
“Apa benar kamu datang dari Rusia?
Atau kamu curi bendera Rusia ini di mana?”
“Benar kami datang dari Rusia bersama
teman-teman,” serentak Erji dan saya menjawab.
“Tapi… Iya tapi kenapa kamu datang
dari Rusia? Apa kamu tinggal di sana? Apa kamu baik-baik saja di sana?”
“Iya benar. Kami baik-baik saja di
sana.”
“Iya tapi kenapa ya… kenapa kamu di
Rusia? Kamu suka Rusia? Kamu bisa bertahan di sana?”
“Kami suka Rusia, tentu saja. Kami
baik-baik saja di sana. Kami belajar dan tinggal di sana sudah dua tahun. Semua
baik-baik saja. Tak ada hal yang aneh di sana.”
Menyimak pertanyaan-pertanyaan dua
mahasiswa Ukraina ini, saya teringat seorang penumpang kereta rute Moskwa -
Saratov yang sudah kulupa namanya. Di dalam kereta dia bercerita bagaimana dia
akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan Ukraina. “Di Ukraina
koran-koran besar dibayar untuk menulis berita-berita miring yang menyebar
kebencian terhadap Rusia,” cerita si penumpang kereta itu dengan nada agak
pelan dalam night train Moskwa –
Saratov. Menatap kedua mahasiswa ini, dalam hati saya bertanya, “Adakah
keduanya di pihak Rusia ataukah di pihak yang lain?”
Dua mahasiswa Ukraina, begitu saja
heran melihat dua kulit hitam memperkenalkan diri sebagai peziarah dari Rusia.
Mereka ingin bertanya lebih lanjut, lebih dalam, lebih detail, tapi Marek sudah
tiba di depan kami dengan mobil Škoda. Lalu kami berpisah, meninggalkan
keduanya dan pelan-pelan Škoda merayap di bawah kendali Marek menuju jalan
utama. Kuturunkan kaca mobil, berpaling
dan menatap kedua mahasiswa itu, kusampaikan “sampai jumpa”. Tapi di wajah
mereka terbersit rasa ingin tahu yang tak tertahankan.
Dalam perjalanan ke rumah, Marek
bercerita bahwa banyak orang asing dari Norwegia, Belarusia, Ukraina dan
negara-negara tetangga lainnya belajar di sini, di Krakow. “Ini bisa dimaklumi
karena bagi mereka biaya pendidikan di Krakow murah meriah,” cerita Marek.
Siapakah Marek? Dia adalah sopir
taksi. Sudah duapuluh tiga tahun dia menikahi Marzena, memiliki flat sendiri di
lantai tiga apartemen itu. Marek dan Marzena bersedia memberi kami dua kamar
untuk dihuni selama WYD berlangsung
di Krakow. Selain Erji, ada mahasiswa lain asal Uganda yang bergabung dengan
kami di rumah flat Marek dan Marzena. Sejak hari pertama, senyum dan keramahan
sudah membuat kami akrab satu sama lain.
Tiap hari selama WYD, Marek dan Marzena bagai orangtua yang setia mengasuh
anak-anak. Tiap-tiap pagi mereka menyiapkan sarapan, termasuk menyiapkan bekal
untuk dibawa selama mengikuti seluruh kegiatan yang selalu beralih dari satu
tempat ke tempat lainnya.
Hari itu Marzena dan Marek sudah
sibuk di dapur sejak pukul 05.00. Mereka menyiapkan roti, daging yang diiris
tipis, telur, susu, yogurt, kopi, teh, saus keju, mentega dan semua segera
mengelilingi meja di ruang makan berukuran kecil itu. Sarapan di Polandia
persis sama dengan di Rusia. Pagi itu untuk pertama kalinya kami duduk
mengelilingi meja yang sama, menikmati sarapan bersama, bercerita dan sesekali
tertawa lepas begitu saja karena John si kulit hitam dari Uganda mulai melucu.
Mareka sangat fasih berbicara dalam Bahasa Inggris, sedangkan Marzena memahami
baik Bahasa Rusia tapi tidak berbicara dalam Bahasa Rusia. Dengan Bahasa
Inggris dan sesekali Bahasa Rusia kami sadar di antara kami jalan pemahaman
sudah dirintis.
Marzena menyudahi sarapan, kami masih
bercerita. Dia bangkit dari tempat duduknya dan memasukkan sandwich, satu botol air dan yogurt ke dalam tas kami
masing-masing. Memandang keramahannya, saya merasakan sentuhan yang tak biasa,
“Ohhh inikah yang namanya keramahan? Atau inikah yang namanya Mercy, belas kasihan? Terima kasih, sebab
saya tak merasa asing di negeri yang jauh dari kampung halamanku.”
Malam pertama dan sarapan pertama di
Krakow berlalu. Hari itu saya coba menelepon Joannie Grabowsky, tutor Bahasa
Inggris kami sewaktu di Ledalero, Flores. Joannie yang adalah warga Texas, USA,
saat ini belajar teologi di Ledalero (Flores). Dia terbang ke Italia untuk
mengunjungi sahabat-sahabatnya, dan kini ada di Krakow, di WYD. Kami sepakat untuk bertemu, bercerita, mengenang hari-hari
kursus bahasa di Ledalero, bercanda dan minum bir di pusat kota Krakow. Sayang
sekali, waktu tak memihak kami, dan saking banyaknya orang, segalanya terasa
sulit, termasuk sekadar bertemu. Apalagi kami mesti berada di grup
masing-masing.
Peziarah sungguh banyak. Tiap hari
jumlahnya terus bertambah hingga hari terakhir WYD angka peziarah mencapai tiga juta-an orang muda dari seluruh
dunia. Itu tidak termasuk para peziarah yang tidak terdaftar di WYD 2016.
Sejauh ini, sejak di Warsawa hingga
Krakow saya telah bertemu dan menyapa orang-orang muda dari bermacam latar
negara. Orang Honduras, Meksiko, Guatemala, Argentina, Brazil, Chili, Kolumbia,
Kalifornia, Kanada, Jerman, Prancis, Portugal, Spanyol, Italia, Israel,
Belanda, Ukraina, Belarusia, Latvia, Slovenia, Polandia, Slovakia,
Turkhmenistan, Afganistan, Syria, India, Singapura, Australia, PNG, Kongo,
Zambia dan masih banyak lagi.
Ketika bertemu orang Italia, cukup
meneriakkan “Forza Italia” laiknya yel-yel supporter sepak bola Tim Azzuri.
Atau saat bertemu grup Meksiko, kami berseru, “Viva Meksiko.” Asyiknya
pengalaman di WYD bisa dijelaskan
dengan cara yang amat sederhana. Barangkali ini pengalaman amat unik, istimewa
dan tak terlupakan sepanjang hidup, ketika melihat orang-orang muda membanjiri
lorong-lorong kota Krakow sambil berseru-seru tak karuan, “Papa Francesco… Papa
Francesco… Papa Francesco…” Atau bernyanyi dan menari di park-park dan
mall-mall di Krakow, sambil menunggu makan siang gratis di McDonald’s atau KFC.
***
Di kampungku di Timor yang sunyi, malam itu semua di rumah sudah lelap, hanyut dalam mimpi. Saya masih bertanya pada “Kesunyian Agung”, benarkah kaum muda ikut menentukan arah sejarah? Entah benar, ataukah tidak, sejarah tidak berhenti di sini. Perjalanan jutaan kaum muda di WYD pun tidak berakahir di Krakow. Sudah lama Yohanes Paulus II, si penggagas WYD berpesan, “Dear young people, your journey does not end here. Time does not come to a halt. Go forth now along the roads of the world, along the pathways of humanity, while remaining ever united in Christ’s Church!” (Paris, 1997).__
Di kampungku di Timor yang sunyi, malam itu semua di rumah sudah lelap, hanyut dalam mimpi. Saya masih bertanya pada “Kesunyian Agung”, benarkah kaum muda ikut menentukan arah sejarah? Entah benar, ataukah tidak, sejarah tidak berhenti di sini. Perjalanan jutaan kaum muda di WYD pun tidak berakahir di Krakow. Sudah lama Yohanes Paulus II, si penggagas WYD berpesan, “Dear young people, your journey does not end here. Time does not come to a halt. Go forth now along the roads of the world, along the pathways of humanity, while remaining ever united in Christ’s Church!” (Paris, 1997).__
Comments
Post a Comment