Chita, Dekabristov dan Datsan

Di bawah langit biru, di hening biara kaum Budhis 
di Chita yang sudah tua, bunyi lonceng-lonceng biara 
seakan mengetuk di pintu Kesunyian Agung_






Pagi, 19 Desember 2017.
Angin musim dingin mendadak menerjang kencang. Maklum, di bulan Desember kekuatan angin terasa berlipat-lipat. Pesawat S7 sudah merendah, meninggalkan ketinggian puluhan ribu kaki. Beberapa kali goncangan terasa mendebarkan. Sebagian penumpang memberi reaksi “tidak nyaman”. Sebagian lainnya tetap tenang. Saya memilih memejamkan mata saat pesawat terus merendah. Sekali lagi angin menghantam badan pesawat dan serasa ada lubang besar di dada, ketika pesawat merendah dalam kecepatan tinggi – seakan jatuh.

Chita di batas malam dan pagi tampak memanjakan mata. Lampu-lampu di sepanjang jalan dan apartemen-apartemen kelihatan sangat jelas. Tiba-tiba pesawat mendarat, bersambut gemuruh tepuk tangan sebagian penumpang yang memuji kepiawaian pilot menaklukkan badai. Perjalanan Novosibirsk – Chita berakhir di sini. “Selamat datang di Chita, Selamat datang di Siberia.”

Turun dari pesawat, saya mengenakan topi dingin dan sarung tangan pula, sebab dingin menembus jackettebal, mengalir ke seluruh tubuh. Hembusan angin membuat daun telinga terasa basah. Tapi syukur, topi dingin terbaik yang kubawa segera memberi kehangatan. Saat berjalan keluar dari bandara, dari jarak agak jauh tampak Adrian sudah menunggu di pintu-kedatangan. Ia tersenyum lebar melihat saya berjuang melawan dingin.

Bersalaman, kami segera berjalan menuju mobil silver itu, menaikkan bawaanku lalu meluncur meninggalkan bandara. Adrian bertanya tentang teman-teman di Moskwa, tentang perjalanan dan transit di Novosibirsk, tentang kesan pertama saat mendarat di Chita, kemudian tentang Siberia dan musim dinginnya. 

“Syukur semua di Moskwa baik-baik saja. Tentang Siberia, memang sangat dingin. Padahal salju tak seberapa banyak.” Adrian melihat ke arah saya sambil berkata, “Untuk kami di Siberia, rasa dingin seperti saat ini belum seberapa dibanding bulan Januari nanti.” Dalam hati saya tahu, “Januari adalah puncak musim dingin. Danau Baikal pun beku di akhir bulan Januari.”

Hari beranjak terang. Di jalan ke rumah, lewat kaca depan mobil saya lihat bukit-bukit tampak mengelilingi kota. Wajah kota ini sungguh lain. Ia tidak seperti Yaroslavl, Kostroma, Tambov atau kota-kota Rusia lain di hamparan datar – tanpa bukit.

Chita memang bukanlah kota yang besar semisal Volgograd, Novosibirsk, apalagi St. Petersburg dan Moskwa. Jumlah penduduknya termasuk sedikit. Berdasarkan sensus tahun 2010, penduduk kota ini berjumlah 324. 444 jiwa. Tapi kota ini termasuk kota tua penuh kisah sejarah, khususnya sejarah pembuangan. Chita didirikan pada tahun 1653 dan pada 1851 untuk pertama kali ia dinyatakan sebagai kota. 

Chita, kota kecil penuh warna kehidupan. Di hari pertama saya langsung merasakan impresi keramahan yang tak dibuat-buat, sangat natural. Orang-orang di jalan, di kafe, di toko, atau di restoran menunjukkan keramahan dan sejenak seorang asing seperti saya perlahan merasa di rumah sendiri. Ada yang lain di Chita. 



Dalam peta Rusia, Chita tampak terpisah jauh dari Moskwa. Kota ini malah lebih dekat dengan Mongolia dan Cina. Sewaktu di Moskwa, ketika kepada beberapa orang Rusia diajukan pertanyaan: “Apakah kamu pernah mengadakan perjalanan ke Vladivostok? Chita? Atau Irkutsk?” Jawaban yang muncul kurang lebih demikian, “Oh itu mimpi kami. Jika ada kesempatan, kami ingin melakukan perjalanan ke sana.” 

Belum lama ini seorang sahabat asal Moskwa melakukan perjalanan ke Irkutsk. Setelah tiba di Irkutsk ia meng-upload beberapa foto di Instagram dengan cerita singkat yang menunjukkan kebahagiaan tersendiri. Datang ke Siberia baginya adalah sebuah kebanggaan. 

Seorang sahabat lain untuk pertama kali menginjakkan kaki di Blagoveshchensk, kota kecil yang berbatasan langsung dengan Cina. Di titik ini, sungai Amur memisahkan dua kota kecil dari dua negara raksasa di planet ini, Blagoveshchensk (Rusia) dan Heihe (Cina). Ketika tiba di Blagoweshensk, sebuah tanya dilontarkan kepadanya, “Bagaimana peradaban di Blagoveshchensk, apakah di sana ada wi-fi?” Ia menolak memberi jawab pada pertanyaan yang amat sederhana ini.

Tak ada yang salah dan aneh dengan pertanyaan seperti ini. Di Indonesia pun sama, orang-orang di Jakarta pun bertanya, “Apakah di Timor ada wi-fi? Apakah di Kupang ada Mall?” Padahal Kupang dan ibu kota (Jakarta) tak seberapa jauh dibanding Chita-Moskwa atau Moskwa-Blagoweshensk yang berjarak tempuh 8 (delapan) atau 7 (tujuh) jam flight tanpa transit. Boleh dibilang setengah perjalanan Moskwa – Jakarta. 

Dear guys, teknologi sudah menyentuh berbagai pelosok, tak perlu lagi mengajukan tanya semiskin ini, “Apakah di Timor ada wi-fi? Apakah di Kupang ada Mall?” Teknologi sudah menerobos batas-batas kehidupan. Sederhana saja sebenarnya, hari ini saya dengan hati berbunga-bunga menginjakkan kaki di sebuah titik di wilayah Rusia yang tak banyak diketahui oleh orang Rusia sendiri. Tapi di sana ada hal yang mencengangkan di hari pertama. Selalu ada helikopter yang mengitari Chita, seakan kehidupan di kota kecil ini terus diamati dari udara. Saya menduga, kota ini terletak di wilayah perbatasan, maka patroli udara bukan hal yang mengherankan. 



Seseorang lalu memberi tahu saya, “Di sini di Chita ada bengkel Helikopter. Setiap helikopter yang sudah direparasi diuji-coba. Maka sering tampak helikopter di langit Chita.” Saya cuma bisa mengagumi Chita, kota kecil dengan peradabannya tersendiri di tanah Siberia. 

Sayangnya, dalam diri manusia selalu ada hasrat untuk menggapai sesuatu yang baru, sesuatu yang lain. Di Chita, beberapa orang muda ingin menggapai sudut dunia yang lain di Asia, di Afrika atau mungkin di Eropa. Mereka ingin segera menyelesaikan pendidikan di universitas, mendapat pekerjaan dengan gaji yang baik, bisa hidup apa adanya, hemat dan menabung untuk kelak bisa mewujudkan mimpi “menggapai negeri-negeri yang jauh.”

“Chita bukanlah kota yang indah. Juga pertumbuhan ekonomi dan teknologi di kota ini sangat lamban,” kata Vitalik yang turunan Jerman. “Meski demikian, kota ini menyimpan sejarah panjang tentang banyak kejadian besar di Rusia,” imbuh pria yang ramah dan murah senyum ini saat kami tiba di halaman gereja Desembrist (Dekabristov). 

Pada tahun 1825, sejumlah kaum Desembrist dibuang ke Chita. Itu alasannya Chita juga dikenal sebagai “Kota Pengasingan”. Sebagian besar Desembrist adalah kaum intelektual dan anggota kelas menengah. Konsekuensi positif terhadap penduduk Chita pun menyusul realitas pengasingan ini. Orang-orang yang dibuang ke Chita ikut meng-edukasi penduduk Chita. Ada pendapat yang mengatakan bahwa di antara orang-orang yang dibuang ke Chita, terdapat kaum perempuan dan laki-laki yang paling cemerlang, sangat produktif dan simpatetis yang telah ada di Siberia Timur (George Kennan).

Apa itu Dekabristov? Dekabristov atau Desembrist adalah komunitas-komunitas atau serikat revolusioner rahasia yang segala aktivitasnya terarah pada Kebangkitan Desember 1825, sebuah kebangkitan melawan Tsar Nikholas I. Di Chita, Old Chita Michael the Archangel Church dijadikan museum Dekabristov dan sudah beroperasi sejak 1985. Michael the Archangel Churchdibangun pada 1776. Bangunan tua ini menjadi saksi arsitektur-kayu pada abad ke-18. Materi bangunannya adalah susunan kayu berukuran besar. Rupanya jenis kayu yang digunakan adalah kayu terbaik yang bisa bertahan selama ratusan tahun. 

Sayang sekali, gereja itu kini berstatus museum. Materi bangunan gereja berupa kayu dirawat dan bertahan bertahun-tahun, tak lapuk. Tapi iman bisa “layu” di hadapan godaan, tantangan dan berbagai ajaran sesat. Bangunan ini menegaskan satu hal sederhana, “materi bangunan” iman pun mestinya sesuatu yang terbaik, tahan-uji dan “tak-lekas-layu” di setiap zaman dengan cobaannya masing-masing.

Dari sisi “gereja” atau museum ini, kuingat kata-kata Whitehead, “Everything is in the making.” Segala sesuatu sedang dalam “proses menjadi”. Pada saat orang-orang di Chita membangun Michael the Archangel Church, mereka tak menyangka jika kelak gereja ini beralih fungsi menjadi museum, saksi sejarah yang tak mudah diurai.

Hari itu setelah jalan-jalan dengan Vitalik, mengunjungi gereja Orthodoks, gereja Dekabristov dan Datsan(biara dan “sekolah filsafat” kaum Budhis), kami pun kembali ke rumah dan menikmati teh panas - sekadar menghangatkan badan di musim dingin yang sedang mengalir. Saya bertanya pada Vitalik, “Mengapa saat masuk Datsan kita mesti berjalan ke arah kiri, terus bergerak melingkar ke arah kanan dan kembali ke pintu masuk?”

“Itu simbol lingkaran energi. Jika kita bergerak dari kanan dan melingkar ke arah kiri, energi yang menyertai kita adalah energi negatif, energi yang menghancurkan. Maka gerakan positif adalah gerakan dari kiri ke arah kanan,” dengan ekspresi agak serius Vitalik menjelaskan hal ini. Saya tak paham banyak tentang apa yang dijelaskan Vitalik.



Kuingat lagi saat di dalam Datsan, kulihat orang-orang masuk dan bersujud, bergerak melingkar dari arah kiri ke kanan, kadang berhenti sejenak dan larut dalam hening, serta memberi hormat di hadapan patung Budha. Pada akhirnya mereka bergerak mundur dengan pandangan terarah pada patung, hingga akhirnya keluar dari Datsan.

Di Rusia Budhisme sudah ada sejak awal abad ke-7, saat suku-suku Kalmyk di terima dalam wilayah kekuasaan Rusia. Budhisme lalu menyebar ke wilayah Buryatia dan suku-suku di Siberia Tengah serta Transbaikal. Berabad-abad kemudian, Budhisme diterima sebagai agama resmi pada masa Ratu Elisabeth Petrovna (1741). Selain di Chita, kaum Budhis dan biara-biaranya bisa dijumpai di Ulan-Ude.
***
Chita, gereja Dekabristov dan Datsan-nya yang megah ikut memperkaya perjalanan saya melintas danau Baikal menuju Irkutsk dan Angarsk yang sungguh dingin.Kini dari Gvardeysk (Kaliningrad) di bekas “Prusia Timur”, kuingat hari itu, sungguh sebuah kesunyian-tak-biasa menjamahku di Chita. Suasana doa yang luar biasa di hadapan segala simbol yang membuatku seakan di alam lain. Di bawah langit biru, di hening biara kaum Budhis di Chita yang sudah tua, bunyi lonceng-lonceng biara mengetuk di pintu Kesunyian Agung._

Comments

Popular Posts