Dari Moskwa ke Gvardeysk
Pagi, 3 April2018.
“Дорогой Мильто, мы ждём тебя в Гвардейске.”
Dear Milto, we are waiting for you in Gvardeysk.
Minggu lalu dengan senyum yang lengkap kubaca pesan tersebut. Saat itu saya di sebuah apartemen di Yaroslavl yang damai, menyiapkan perayaan Perjamuan Malam Terakhir. Saat perayaan berlangsung, saya tahu, sudah tiba saatnya saya segera meninggalkan Yaroslavl dan terpisah jauh dari orang-orang tak-tergantikan. Selanjutnya sebuah jarak yang tak sedikit segera terbentang.
Yaroslavl, kota tua yang eksotik di sisi Sungai Volga. Gereja-gereja tua, biara-biara Orthodoks dan katedralnya yang anggun serta taman-tamannya yang segera hijau di musim panas membuat saya tak ingin beralih. Tapi pada saat yang sama saya memikirkan Gvardeysk. Malam itu, tiba-tiba keindahan Yaroslavl kalah di bayang-bayang Gvardeysk, rumah baru yang segera kudatangi. Gvardeysk atau Tapiau merupakan kota kelahiran pelukis impresionis – Lovis Corinth (1858-1925). Corinth dikenang luas lantaran lukisan-lukisannya yang unik dan original. Salah satunya adalah “Golgatha”. Lukisan itu dipersembahan untuk altar sebuah gereja dan kemudian hilang menjelang akhir perang dunia II.
Saat menulis kisah ini, kuingat Yaroslavl dan Kostroma, dua kota yang kusambangi setiap akhir pekan sepanjang Maret 2018. Dari Gvardeysk dan sisah-sisah sejarah Prusia Timur, kulipat jarak Moskwa-Kaliningrad; ada rindu untuk Yaroslavl dan Kostroma serta orang-orangnya yang ramah.
***
Hidup yang lain sudah dimulai sejak hari itu (03/04/2018), saat Ronaldo menyita perhatian dunia gara-gara dua golnya ke gawang Buffon hingga Real Madrid benar-benar membungkam Juventus dengan skor 3:0. Kekalahan kadang menyiksamu saat kamu cenderung lari dari kenyataan. Itulah bola. Kadang kita perlu menjadi rendah hati, agar dengan enteng bangkit dan memberi standing ovationkepada mereka yang masa depannya lebih cerah.
Saat Ural Airlines take-off di Domodedovo International Airport, sangat terasa, segala kedekatan dan keakraban tiba-tiba runtuh. Di Domodedovo, saya sadar, “Perpisahan kadang menyerangmu pada saat kamu tidak siap beralih.” Dan setiap kali pindah ke kota lain, saya selalu berhadapan dengan pertanyaan, “Apa itu rumah?”
Jika rumah adalah tempat atau ruang, maka setiap langkahmu akan dibatasi oleh ruang yang namanya rumah. Jika rumah adalah tempat, maka kamu akan kesulitan memikul rumah (dan itu tak mungkin) saat kamu mesti beralih. Tetapi baiklah rumah adalah “situasi” di mana dengan setia orang-orang menunggu hadirmu, menunggu kedatanganmu sepanjang hari. Hanyalah “Kebebasan” yang membuatku dengan ringan-hati meninggalkan Moskwa.
Dalam pesawat dari Moskwa ke Kaliningrad, saya duduk di samping seorang pemuda Tajikistan. Kehadiran lelaki ini mengingatkan saya pada perjalanan di akhir 2017 ke Siberia, ke Chita di batas Cina-Mongolia-Rusia. Di sebuah kafe di sudut Bandara Novosibirsk, saya bertemu dan ngobrolsantai dengan dua lelaki Tajikistan. Satunya bernama Kabhil, dan yang lainnya kulupa namanya.
Lebih jauh lagi orang-orang dari Tajikistan ini mengingatkan saya pada cerita-cerita Agustinus Wibowo dari Afganistan. Gadis-gadis Tajikistan yang lebih modis disandingkan dengan perempuan Afgan yang lebih tradisional, wajah-wajah jelita berbalut burka. “Kebebasan” di pihak Tajikistan, dan bayang-bayang “kebebasan” tampak samar dari balik “burka” dan budaya Afgan.
“Jika ingin bebas, kamu mesti bergerak. Kalau ingin bebas, kamu tak boleh menolak ‘tuk beralih.” Ketika masih di Domodedovo International Airport, kurang lebih dua jam sebelum boarding (11.15) saya meng-update status facebook, “Новая Жизнь после Светлой Пасхи начинается.” Benar demikian, hidup baru setelah Paskah dimulai di Domodedovo. Saat tinggalkan Moskwa, saya lebih merasa terbebaskan, daripada merasa “tercabut”. Perasaan seakan “tercabut” justru menimpaku saat meninggalkan Tambov (2 September 2016) atau juga Moskwa (14 Januari 2018) menuju Jakarta.
Di atas negara-negara Balkan (Estonia, Latvia dan Litva) sebelum mendarat di Kaliningrad, “kebebasan” mewarnai dan menerangi perjalanan saya. Pramugari berambut pirang itu menawarkan teh, saya malah meminta kopi. Ia bicara dalam Bahasa Inggris dengan aksen Rusia, saya jawab dalam Bahasa Rusia. Di situ senyumnya merekah begitu saja. Dengan santun kusambut segelas kopi dari tangannya yang lembut.
Sesaat kemudian saya mengalihkan pandangan ke luar lewat jendela. Sambil menikmati kopi dan sepotong kue, kubaca sebuah artikel menarik tentang Kaliningrad (Königsberg) dari majalah Ural Airlines. Artikel itu berisi kisah tentang Immanuel Kant (1724-1804) dan lorong-lorong yang dijalaninya saat ia keluar dari rumah untuk jalan-jalan. Kuingat sebuah masa di Ledalero (Flores), hari-hari belajar filsafat dan sebuah kisah tentang rutinitas filsuf ini.
Hujan atau cerah, musim dingin atau musim panas, Kant tetap keluar untuk jalan-jalan.
Ia biasanya pergi sendirian, karena ia ingin bernapas melalui hidung saat jalan-jalan (mulut tertutup), sebuah praktik yang diyakini sangat baik untuk tubuh. Ia menolak ditemani. Sebab hal ini mengharuskannya membuka mulut untuk bicara.
Hal yang menarik adalah ia selalu mengambil rute yang sama, begitu konsisten sehingga lorong atau taman yang dijalaninya kelak disebut “The Philosopher’s Walk.” Ada rumor yang mengatakan bahwa ia hanya mengubah rute jalan-harian-nya dua kali sepanjang hidupnya: pertama untuk mendapatkan salinan-awal karya Rousseau - “Emile”, dan yang lainnya saat ia ikut berebut berita panas menyusul pengumuman Revolusi Prancis.
“Bangun pagi, minum kopi, menulis, berceramah, makan, jalan-jalan, semuanya memiliki waktu yang telah ditentukan. Rupanya tetangga-tetangga sang filsuf sudah tahu baik tentang rutinitasnya, hingga ada kesimpulan bahwa itu tepat jam setengah empat (15.30) ketika Kant keluar dari rumahnya dengan mantel ketat berwarna abu-abu, dengan tongkat Spanyol di tangannya, dan melangkah sendirian di jalan yang sama, yang dengan konsisten ia jalani.
***
Tiba di Kaliningrad, dua pegawai imigrasi langsung mencegah langkah saya menuju ruang pengambilan bagasi. Saya menyambut dengan senyum, dan hal itu bagai menjinakkan “ranjau” yang segera meledak jika dipicu. Mereka meminta passport. Beberapa kali mereka menanyakan perihal kedatangan saya ke Kaliningrad. “Apa tujuan kamu datang ke Kaliningrad?”
Saya tidak heran sedikitpun, sebab teman-teman sudah mengingatkan saya tentang hal ini. Kaliningrad, yang juga menyiapkan stadion untuk UEFA World Cup 2018Juni nanti, di bawah kontrol yang ketat, tak seperti wilayah Rusia lainnya. Alasan lain yang lebih logis, mungkin karena Kaliningrad adalah provinsi yang terpisah jauh dari wilayah-wilayah Rusia dan dikellilingi negara-negara Uni Eropa.
Tak banyak bicara, dengan ramah saya keluarkan undangan tertulis dari lembaga yang mengundang saya. Dengan tergesa dan ekspresi ingin tahu, pria berusia 20-an tahun itu mengeluarkan telpon genggam dari sakujacketdan langsung memencet nomor telpon yang tertera pada kopsurat undangan.
Selang beberapa menit mereka mengembalikan passport dan undangan, lalu membiarkan saya pergi. Kaliningrad sungguh lain, tidak seperti kota-kota Rusia yang pernah saya datangi. Kaliningrad pernah dihuni orang-orang Jerman dan dikenal sebagai Königsberg, wilayah Prusia Timur hingga akhir perang dunia II. Kini wilayah ini merupakan satu provinsi di bawah Republik Federasi Rusia yang dikelilingi Polandia, Belarus, dan Lituania.
Saat tiba di rumah kami di Gvardeysk, saya diterima dengan sambutan hangat, apa adanya. Beberapa saat kemudian, setelah menikmati sup yang lezat, saya diminta menempati sebuah kamar kecil di lantai empat. Dari dalam kamar, kulihat ke jalan-jalan. Beberapa orang keluar dari sebuah toko makanan, yang lainnya memasuki toko itu dengan langkah yang cepat. Sejumlah penduduk kota menempati beberapa tempat duduk di taman di sisi jalan, melihat hari yang tak cerah itu segera berlalu. Sekawanan merpati bertengger di balkon dekat jendela kamar. Dalam hati saya bertanya, “Adakah kawanan ini ikut menyambut kedatanganku?”
***
Keesokan harinya, saat matahari terbit, sinar lembut mentari pagi menembus kaca jendela, memenuhi ruangan saya. Kemarin suhu +5’c, sedangkan pagi ini +15’c. Bergabung dengan dua sahabat, kami menempuh perjalanan ke beberapa kota tetangga dan selanjutnya menuju sebuah kampung yang jauh. “Kita seakan berada di negara lain,” kata salah satu sahabat. Jalan rayanya baik sekali. Kami melintasi beberapa jembatan, orang-orang memarkir sejumlah besar mobil di sebidang tanah lapang, lalu berdiri menatap gelombang air yang terus menepi. Ada penantian panjang. “Mungkinkah umpan yang dibuang ‘kan mengelabui ikan-ikan?”
“Antara hobi dan kerja - beda tipis…,” kata teman saya yang mengendarai mobil Hyundai putih di lintasan menuju Znamensk, di mana di sisi kiri dan kanan jalan, pohon-pohon tua tak berdaun berjejer rapi. Sejumlah besar benalu memenuhi dahan dan ranting pohon-pohon tua itu. Dalam perjalanan, saya bisa bayangkan keindahan musim gugur saat daun-daun berubah warna, menguning atau menjadi merah atau cokelat sebelum gugur dan hilang bersama waktu.
Saat tiba di kampung itu, dengan rasa kagum yang penuh, saya menatap keindahan sebuah gereja tua, gereja orthodoks. Dinding-dindingnya berwarna merah. Sejumlah burung berlalu di atas bangunan gereja yang dikelilingi pohon-pohon yang entah apa namanya. Di bubungannya asap mengepul dari sumber yang entah.
Tiba-tiba saya berpaling ke arah mobil yang datang dari arah berlawanan. Wajah saya berubah ditindih rasa kurang percaya. Ada informasi yang mengubah pola pikir saya. “Ini bukan gereja lagi. Ini gedung olahraga,” kata sahabat di dekat saya. Seluruh ingatan saya langsung mengalir jauh, pulang ke pinggiran Moskwa. Beberapa sopir taksi pernah dibikin terkejut, ketika mereka menurunkan saya di depan rumah kami di Kawasan Lublino. Kepada mereka dengan yakin saya sampaikan, “Ini bukan diskotik lagi. Ini gereja paroki Sta. Olga.”***
Comments
Post a Comment