Lahir Pada Musimnya



Agar pesan-pesan dari buku Musim-Musim Berlalu sampai kepada pembaca, penulis menyusun tulisannya dengan penuh kedisiplinan dan menuangkan pengalaman itu dalam bahasa-bahasa ringan yang mudah dikunyah pembaca.__ 

Judul                            : Musim-Musim Berlalu (Kisah-Kisah dari Tambov, St.  
                                        Petersburg, Moskwa, Kaliningrad, dll)
Penulis                          : Milto Seran
Penerbit                        : Nusa Indah (Ende, Flores)
Halaman                       : xiv + 312 hlm
ISBN                              : 979 – 429 – 378 – 4 
Cetakan Pertama         : Juli 2018 

Ada yang tak akan berlalu dari pergantian tiap musim, yakni cerita tentangnya. Milto Seran, penulis buku Musim-musim Berlalu, secara implisit menggunakan ‘musim’ sebagai metafor untuk mengungkapkan perubahan yang konstan, sebuah repetisi yang selalu mempunyai cela untuk bisa ditebak ke mana arah perubahan itu. Sebagai seorang penulis, Milto menceburkan diri dalam pengalaman itu dan dengan santun ia menuntun pembaca untuk naik pada tiap anak tangga pengalaman bersamanya, secara khusus pengalaman saat ia berada di Rusia.
Pengalaman, dalam bahasa Inggris, kita kenal kata experience. Kata experience itu memiliki akar kata yang sama dengan kata experiment, expert, dan perilous. (Yi-Fu Yuan, 2011). Ketiga akar kata ini memberi bobot pada experince bahwa dalam setiap pengalaman ada eksperimen, individu harus aktif untuk menerobos tiap hal yang ia anggap tidak familiar, sulit dipahami, dan yang tidak tentu. Ia juga harus tetap awas untuk menginterpretasikan situasi, sambil belajar memahami meaning di balik tiap tindakan simbolik (Turner, 2012). Ini tidak mudah sebab ada bahaya (perilous), ketika proses trial and error justru mendapat reaksi yang tak bisa ia bendung. 
Sejak awal saat tiba di Rusia, Milto Seran sudah mengganjal tiap tindakannya dengan sikap rendah hati. “Dengan susah payah saya menghafal kata-kata Rusia dan huruf-hurufnya yang ruwet. Dengan kesulitan yang sama, saya telah belajar melewati dan mencintai musim dingin pertama dalam seluruh hidup saya” (hal. 23).  Di sisi lain, Milto Seran enggan untuk menolak kado pertama bagi orang asing di negeri orang. “Kesunyian begitu saja mengalir turun dari candi-candi gereja.” (hal. 23). Untunglah, kemudian ada Germain, sahabat perjalanannya, sebelum kehadiran sahabat-sahabat lain.
Sesudah melewati anak tangga pertama yang serba sulit dan mencemaskan, buku Musim-Musim Berlalu kemudian menyajikan kekuatan musik yang mengalir dari dalam gereja, satu irisan yang nikmat untuk dikaji entah dari perspektif negosiasi antara kultur dalam institusi agama (baca:gereja) dan karya seni, atau dari perspektif seni itu sendiri. Milto Seran, tampaknya memilih gagasan pertama dengan menyebut gereja sebagai pusat kebudayaan Eropa. Negosiasi memang tak perlu terjadi ketika musik lahir dari dalam gereja, negosiasi terjadi justru ketika musik dibawa dari luar dan mendapat tempat di dalam gereja. Di sana, sikap terbuka menjadi satu pintu masuk. Rupanya tidak hanya musik yang masuk tetapi kemudian orang-orang dari latar budaya dan agama yang berbeda ikut menikmati musik di gereja tanpa harus berpindah agama. 
Dengan gaya story telling Milto Seran piawai membawa ruang (space) di dalam gereja  kepada pembaca dan pembaca terlibat menikmati alunan musik yang mengalir dari tangan Anna dan Mikhail bahkan udara Tambov yang dingin membuat pembaca pun turut menggigil sambil terpana menyaksikan sepasang kekasih yang duduk bergandengan tangan, menggesek-gesekkan telapak tangan karena dingin menembus winter coat, topi dingin dan syal yang melingkar di leher. (hal. 76)
Kemampuan untuk menghadirkan ruang, (tidak hanya tempat kepada pembaca) menjadi salah satu keunggulan buku Musim-Musim Berlalu. Tempat (place) bisa ditemui pembaca dengan meng-googling di internet, tetapi untuk ruang (space) yang berisi suasana memiliki rumus tersendiri jika hendak disajikan dengan lezat. Orang mesti hadir dalam ruang tersebut dan dengan kehati-hatian ia membangun batas-batas dalam benak lalu menghembuskan kebebasan dalam benak pembaca. Di sana ada kode etik untuk tidak menggurui pembaca, sebab hakekat dari ruang adalah sense of being free yang terkoneksi dengan sisi transendental manusia. 
Pada level ketiga, Musim-Musim Berlalu tak mampu membendung kecintaan penulis pada musik. Uraian-uraian dalam bagian ini menyajikan euforia penulis saat menjumpai para musisi handal yang juga ternyata memainkan musik-musik klasik yang ia kenal. Keberanian-keberanian yang tak diduga tiba-tiba mengalir begitu saja lalu mewujud dalam tindakan-tindakan nekat penulis: mewawancarai pemusik, merekam permainan para musisi, berkunjung ke rumah musisi (Ari Sutedja di Jakarta), bermain piano. Penulis juga langsung terhubung dengan rumah-rumah pendidikan yang pernah menabur benih kecintaan penulis pada musik. Gairah penulis pada bagian ini mengalir begitu deras dan hampir-hampir ia sudah tak peduli lagi bahwa bahasa Rusia itu rumit, bahwa orang asing selalu bersahabat dengan kesunyian. Musik telah menjembatani diri penulis dengan orang-orang lain. Memang benar, belajar bahasa adalah aspek penting, tetapi hal tersebut perlu didasarkan pada rasa cinta. Musik mengajarkan bagaimana cinta mampu menerobos segala perbedaan. 
Agar pesan-pesan dari buku Musim-Musim Berlalu sampai kepada pembaca, penulis menyusun tulisannya dengan penuh kedisiplinan dan menuangkan pengalaman itu dalam bahasa-bahasa ringan yang mudah dikunyah pembaca. 
Dalam konteks sosial, Musim-Musim Berlalu memang lahir pada musimnya: ketika ketakutan akan keberagaman justru menjadi alasan untuk lahirnya bentuk-bentuk kekerasan. Musim-musim Berlalu hadir ketika rumah ibadah kian memelihara kebencian akan penganut agama lain bukan kebebasan bagi umatnya untuk berjumpa dengan penganut agama lain. Musim-Musim Berlalu hadir ketika orang kehilangan keberanian untuk merawat dan mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Musim-Musim Berlalu juga hadir ketika orang giat melakukan mobilitas tetapi tetap merasa hidup tanpa gairah dan “kering”. Musim-musim Berlalu mengingatkan pembaca akan pentingnya mencintai potensi dari dalam diri dan mengembangkannya karena kita lebih mudah terhubung dengan orang lain, salah satunya karena passion yang kita miliki. 
Buku Musim-Musim Berlalu layak untuk Anda baca. Bersiaplah untuk berpetualang. Selamat membaca. 
Bill Halan, 
Dosen MKU di Universitas Ciputra Surabaya 
dan Universitas Widya Mandala Surabaya 


Referensi
Bryan S. Turner (ed). Teori Sosial dari Klasik sampai Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 
Seran, Milto. 2018. Musim-Musim Berlalu. Ende: Nusa Indah. 
Yi Fu Yuan. 2011. Space and Place the Perspective of Experince, USA:University of Minnesota Press.







Comments

Popular Posts