KM. Bukit Siguntang dan Bilangan Faal

Photo credit: Chika Manek (Napoli, Italy)







Tak ada kegagalan bagi mereka yang berharap 
Cuma ada energi baru untuk bangkit dan hidup 
sepenuh-penuhnya. Setelah jatuh, setelah terpuruk, 
kamu tidak bisa bermain-main lagi. 

     22.12.2012
     Dalam segala kerapuhan diriku, saya menuliskan pengalaman ini. Di tengah perjalanan Maumere-Kupang pada akhir 2012, saya berhadapan dengan satu kegetiran yang tak terlupakan. Ada ungkapan menarik, “Hidup akan berakhir ketika kamu tak lagi memiliki mimpi.” Tetapi di atas KM Bukit Siguntang, saya seakan-akan kehilangan mimpi-mimpi besar dalam hidupku. Laptop dan dokumen-dokumen penting di dalamnya diambil orang tak dikenal. 
     Sejak kehilangan beberapa barang serta dokumen berharga pada dini hari 21 Desember 2012 itu, saya mulai bertanya-tanya (ragu?). Apakah masih ada segepok asa untuk berjuang? Cukupkah pengalaman ini menjadi alasan untuk “angkat tangan”? Apakah ini badai yang akan berlalu? Apa pertanda penting di balik pengalaman ini?
     Barangkali setiap orang memiliki angka-angka unik dalam hidupnya, bilangan penting yang tak terlupakan, lekat tetap dalam ingatan. Di akhir pengalaman getir ini, saya berpikir ekstra tentang angka “21”. Bisa saja Anda tidak percaya. Tetapi ini bukan sebuah kebetulan. 
     Ada apa dengan angka ini? Tentang “21”, saya berpikir begini; saya dilahirkan pada tahun 1983. Jika angka-angka ini: 1, 9, 8, dan 3 dijumlahkan, maka hasilnya 21. Saya juga lahir pada tanggal 14 dalam bulan ke-7. Jika angka 14 dijumlahkan dengan angka 7, hasilnya 21 juga. 
     Dihubungkan dengan pengalaman naas di atas kapal itu, angka 21 tampak sebegitu menonjol. Peristiwa itu terjadi pada 21.12.2012. Jika angka “21” diperhatikan secara detail, angka ini terdiri dari dua digit: “2” dan “1”. Kalau “0” diabaikan, angka 2 dan 1 sangat dominan dalam tanggal, bulan dan tahun kejadian itu. Tambahan pula, saat peristiwa itu berlangsung saya tidak sepenuhnya sadar, ternyata ada tulisan Twentyone pada kaos yang saya kenakan malam itu. 
     Paulo Coelho menyebut hal seperti ini sebagai Faal. Apa itu Faal? Faal adalah abjad yang kita kembangkan untuk bercakap-cakap dengan jiwa dunia. Dalam novel-novelnya, istilah lain yang ia gunakan adalah pertanda, atau pertanda dari Tuhan. Dalam KBBI, Faal didefinisikan sebagai alamat yg meramalkan sesuatu (nasib dsb); tanda.
     Saya hanya ingin mengatakan bahwa pada titik pengalaman hidup tertentu, entah baik atau buruk, seseorang mesti diam dan sadar sepenuhnya untuk melewati satu proses yang tak mudah. Dokumen-dokumen penting itu hilang begitu saja. Semuanya lenyap dalam satu proses yang amat cepat dan singkat. Saya membiarkan “Kesunyian Agung” berbicara. Ya TUHAN, kekuatanku dan bentengku, tempat pelarianku pada hari kesesakan! (Yer 16:19).
     Kelalaian bisa terjadi kapan saja. Saat itu, setelah sadar bahwa barang-barang itu telah raib, saya bingung, marah dan benar-benar mafhum akan keterbatasanku di tengah jubelan penumpang, orang-orang asing dan tentengannya ketika kapal hampir berlabuh di Lewoleba. Sadar bahwa tindakan apapun yang dilakukan dalam angkara murka hanya akan membuahkan kegagalan, pilihan untuk tetap sabar adalah yang terbaik.
     Beberapa saat kemudian, sewaktu Bukit Siguntang bertolak meninggalkan Lewoleba dan perlahan-lahan nakhoda memutar kemudi menuju Timor, saya merasakan suatu kehampaan yang tidak biasa. Seluruh perjuanganku terasa runtuh seketika, sia-sia. Konsentrasiku untuk melakukan riset di kampung terasa buyar sekejap. Pertanyaan sederhananya, apakah saya mesti bangkit? Bagaikan petarung yang kalah knockout di atas ring, saya kehilangan energi untuk bangun. Tetapi itulah hidup, pada waktu tertentu ia bisa sangat membingungkan.
     Saat turun dari geladak kapal, ketika KM Bukit Siguntang telah mantap berlabuh di Tenau – Kupang, perasaan yang dominan adalah kekosongan. Rasanya ada sesuatu yang kurang dalam diriku. Akan tetapi untuk menghibur diri, saya bisa berkata, “Saya bersyukur, saya mengalami apa yang tidak dialami orang lain. Ini merupakan suatu pengalaman unik dan berharga tentang KEKOSONGAN.” Sampai di sini, saya teringat sajak berikut ini;
Tiga puluh jeruji membentuk sebuah roda,
Pusat roda yang kosong itulah yang dipasang pada as kereta
Remas-remaslah tanah liat menjadi tempayan,
Bagiannya yang kosong itulah yang berguna sebagai wadah.
Memasang pintu dan jendela pada sebuah rumah,
Ruangan yang kosong itulah yang ditempati sebagai hunian
Karena itu, bagian yang ada memberi keuntungan, bagian yang tiada memberi kegunaan.

     Sebuah puisi yang indah dari Lao-tse. Hidup perlu disederhanakan sampai semaksimal mungkin. Ketika anda menghadapi musibah, cobalah untuk menyabar-nyabarkan diri, dan dengan berani menegaskan, “Peristiwa itu sama sekali tidak membuatku patah arang. Sebab saya hanyalah KEKOSONGAN.” Saya seakan-akan mendapat ilham baru untuk maju, meski sesungguhnya saya sadar akan diriku sebagai salah satu korban dari sederet kejahatan di atas KM Bukit Siguntang malam itu (21/12/2012). Ibu-ibu mengeluh kehilangan uang, ATM, kalung dan perhiasan emas lainnya. Di wajah mereka ada hal yang menyedihkan, diikuti bahasa kutukan terhadap orang-orang yang telah mengambil barang-barang mereka. 
     Toh saya tak harus menyerah. Motivasi-motivasi, cita-cita dan segala hasrat manusiawiku untuk berjuang dimurnikan dengan petaka ini. Dalam kebingungan yang tak dibuat-buat, saya terpacu untuk lebih giat atau menyitir Paulo Coelho, ”untuk hidup sepenuh-penuhnya.”*** 

Comments

Popular Posts